Jumat, 10 Agustus 2012

Sejarah Si Gendut Part 1

Sometimes, in order to be happy in the present moment, you have to be willing to give up hope for a better past.
Robert Holden, Ph.D.

Tersebutlah seorang anak bernama Tika, sejak kecil badannya memang sudah berisi. Dalam masa pertumbuhannya pun, karena orang-orang di sekelilingnya menganggap dia lucu, maka kerap diberi makanan ringan, cokelat, maupun es krim. Karena memang Tika anak penurut dan tidak memilih-milih makan, apa yang diberikan, asalkan bisa dimakan, langsung dilahap begitu saja.

Beranjak remaja, sudah banyak orang-orang di sekelilingnya yang menyarankan agar dirinya mulai diet, tapi karena dirinya merasa keadaannya masih diterima, dia tetap mempertahankan bentuk tubuhnya tersebut. Dia merasa, selagi masih muda, apapun harus dicoba, apalagi makanan enak.

Masuk dalam lingkungan kerja, lembur yang sering menyambutnya mengharuskan dia pulang malam dalam keadaan lapar. Bukan karena tidak diberi makan oleh bos, tapi dia menghemat uang lemburnya untuk keperluan lain. Akhirnya tiap malam yang menunggunya adalah makanan sisa yang jika tak habis, porsinya terlalu sedikit untuk dipanaskan esok hari. Mau tak mau, dia mulai menjaga kebiasaan untuk menjadi "Tukang Bersih-Bersih" meja makan. Terkadang kalau "beruntung" nasi yang tersisa pun dilahap habis.

Mungkin ada yang berpikiran kalau Tika bodoh, tapi bagi keluarganya dia adalah orang yang berkorban paling besar. Betapa tidak, coba dipikirkan, jika tidak ada Tika, siapa yang akan menghabiskan sisa makanan, jika sisa makanan tidak dihabiskan kapan akan dimasak makanan baru yang rasanya tentu lebih lezat? Hal ini terbukti ketika Tika meninggalkan rumah selama setahun untuk memperpanjang studinya di negeri orang. Mama serta adiknya berteriak keras karena tiap malam pasti ada sisa makanan yang tak tersantap. Dan alhasil, setelah masuk kulkas, dua tiga hari kemudian harus berakhiran di tong sampah karena tidak ada yang menyentuh.

Gendut. Itu sudah label Tika dari dulu. Sempat pasang kawat gigi dan menjadi kurus, lalu kemudian sempat kos di dekat kampusnya dan menjadi lebih kurus, tapi kemudian karena stress lalu menjadi gendut lagi, dan akhirnya gendut tetap bersanding dengan pas disampingnya.

Apakah kegendutan membuat Tika tak bahagia? Ah, masa? Itu malah membuat Tika lebih mengenal dunia. Dia bisa dengan keras kepalanya bilang, "Penampilan bukan segalanya!" pada dunia yang memang mementingkan penampilan ini. Mungkin untuk orang-orang yang berpenampilan menarik justru akan mencecar Tika, karena mereka juga berusaha untuk tetap menjaga penampilan mereka itu. Mereka akan dengan sinisnya berkata, "Ketika kami sedang menjaga berat badan kami dan mengunci mulut kami rapat-rapat, dia dengan enaknya memasukkan semua lemak ke dalam tubuhnya!"

Ya itu semua pilihan, pilihan hidup masing-masing orang. Tapi jika semua orang menganggap penampilanlah yang terpenting, kapan ketulusan seseorang akan dianggap? Mungkin itu semua hanya omong kosong, tapi inilah cara Tika untuk membuktikan kalau omong kosong juga ada benarnya.

Sejauh ini yang berhasil dibuktikannya adalah, dia mampu mencari pekerjaan berdasarkan otak, bukan penampilan seperti yang ditakutkan orang tuanya. Teman-temannya juga segudang, dan itu berdasarkan kemampuan bergaulnya, bukan penampilan seperti yang diserukan orang-orang, teman-temannya pun menghargai dan melindungi dia ketika dia butuh orang-orang yang bisa mengerti dia. Apakah itu bisa didapat kalau bukan dari sebuah ketulusan? Apakah penampilan bisa "membeli" semua itu? Terkadang Tika juga bertanya-tanya, apakah orang yang berpenampilan modis dan menarik akan sebahagia dirinya?

Lagipula memang ada yang peduli dibalik pilihan yang dibuat Tika???

Kamis, 09 Agustus 2012

Sepenggal Waktu Sebuah Kisah

Lagi buntu, lagi eneg, lagi sebel.
Itu perasaan yang berkecambuk belakangan. Apakah ini murni karena rasa bersalah, ataukah memang sebenarnya ada perasaan lain didalamnya?
Siapa yang bisa menjawab semua ini??

Alkisah ada 3 orang teman karib yang baru kenal 4 bulan ini, sebut saja namanya Siti, Wati, dan Budi. Ketiga orang sahabat ini memang sedang menuntut ilmu ke negri orang.

Dipertemukan oleh sebuah bintang bernama Nasib, maka mereka pun menjadi dekat satu sama lain. Di sekeliling mereka ada banyak teman-teman yang juga senegara, tapi kadar kegilaan teman-teman lainnya belum mencapai kegilaan ketiga orang ini.

Mereka punya panggilan "sayang" untuk antara mereka bertiga yang orang lain dengar pun akan bergidik rasanya, tapi jangan remehkan orang gila, mereka pasti akan cuek saja.

Siti adalah tipe orang yang biarpun terlihat cuek, sebenarnya sangat pandai membaca situasi.Wati dengan sejarah pertemanan yang panjang, mampu dekat dengan siapapun, baik lelaki ataupun perempuan, dalam sekejap. Budi dengan tipe gentleman yang mampu membuat perempuan manapun bertekuk lutut.

Semua pertemanan ini berjalan dengan lancara sampai Wati menemukan sebuah jalan untuk memperpanjang studinya di negeri orang. Sebuah jalan yang memakan habis sumber daya otaknya yang bahkan membuatnya jauh dari kedua temannya ini. Demi merampungkan semua proses, dia akhirnya harus mengurung diri di kamar asrama untuk konsentrasi.

Sementara itu, ditinggallah Siti dan Budi berdua. Siti, yang merasa adanya sikap spesial dari Budi untuk Wati, akhirnya mendapat kesempatan untuk bertanya kepada Budi. Lalu dimulailah persekongkolan dua manusia untuk mendekatkan diri orang-orang yang terlibat, tanpa sepengetahuan orang lainnya tentu saja.

Sedikit demi sedikit, dibukalah jalan bagi Budi untuk memulai sepak terjangnya kepada Wati. Wati, yang pada saat itu sedang tidak bisa berpikir jernih, seperti membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun yang mau masuk ke dalam hatinya. Semuanya terjadi dengan begitu cepat dan lancar. Dimulai dari perhatian-perhatian kecil, rangkulan pada saat foto, gandengan tangan, dan akhirnya pengakuan sebuah status.

Wati pada saat itu benar-benar tidak mengerti akan dirinya sendiri. Dia hanya menyambut apa yang diberikan oleh Budi. Selalu, di setiap "Ya", terdapat pertanyaan "Apakah ini yang terbaik untukku?".

Sampai akhirnya Wati tidak tahan, karena kecaman dari keluarga Wati yang notabene "terpandang" tidak memperbolehkan semua gandengan dan rangkulan seperti di foto-foto Budi dan Wati. Wati memutuskan semuanya. Dan semua itu terjadi hanya dalam hitungan minggu.

Dan perlu diketahui, biarpun teman Wati dahulunya banyak, tidak ada yang sedekat Budi. Meskipun Wati tidak bisa menceritakan banyak hal kepada Budi seperti Wati kepada teman baik prinya, tapi sikap Budi membuat Wati selalu mengingatnya. Entahlah apa yang diingatnya, apakah Budi ataukah kebersamaan mereka selama itu.

Sekarang, setelah 1 minggu mereka tidak berkomunikasi, tiba saatnya Budi menagih janji yang sudah mereka buat jauh-jauh hari ketika masih ada status diantara keduanya. Janji untuk memberikan kenang-kenangan dari keduanya kepada Siti. Hubungan mereka sudah porak poranda, jarak antara mereka pun sudah tercipta. Apa yang harus mereka lakukan? Wati hanya bisa memastikan satu hal, saat ini dia merasa bersalah, dia merasa bersalah sudah menghancurkan persahabatan mereka bertiga demi perasaan yang setengah-setengah. Seandainya waktu itu dia bisa menahan diri, seandainya waktu itu dia bisa membatasi diri, seandainya waktu itu dia bisa berpikir jernih, mungkin saat ini kisah ini akan berbeda.

Yang tertinggal hanyalah dusta...

Budi yang hanya bisa menunggu sudah tak kuasa menahan semuanya. Dia butuh sebuah pelarian, dia butuh sebuah pengalihan. Dan yang siap mendengarkan semuanya hanyalan Siti. Siti lah temannya satu-satunya yang memberikan dukungan selama ini. Jadi kembali kepada dialah Budi mencari pencerahan batin. Selama masa-masa muram tak ada kabar dari Wati, tiap hari bahkan tiap jam Budi menceritakan semua kegiatannya kepada Siti lewat SMS. Mereka bak orang tak ada kerjaan yang saling menanyakan "Hai, lagi apa?" sepanjang waktu. Budi hanya bisa melakukan itu untuk mengalihkan perhatiannya dan putus asanya pada hubungannya yang sudah porak poranda.

Siti, perempuan diantara mereka berdua yang selama ini diam dan menyokong dua sahabatnya dari belakang, akhirnya juga terlibat diantara keduanya. Dia tidak mengerti apa perasaan yang mendorongnya untuk masuk kedalamnya. Dia hanya mampu melindungi satu diantara keduanya dari segala luka, dan yang terluka paling dalam pastilah Budi. Dan dia pun melangkah masuk dalam kegelapan Budi, perlahan mencoba menariknya keluar dari kegelapan itu. Sampai akhirnya dia sendiri tidak mengerti apakah itu hanya simpati dan iba ataukah memang sudah ada bunga-bunga perasaan lain yang mekar dihatinya.

Dan jangan salahkan orang gila untuk semua keisengannya. Selama masa-masa gelap itu, Siti merasa mood Budi harus dipompa, maka dia membuat sebuah permainan kecil yang sebelumnya mendapat persetujuan dari Wati. Permainan kecil mematikan yang membuat Wati muak setelahnya. Siti mengungkapkan perasaannya kepada Budi. Bukan perasaan sesungguhnya akan keburaman perasaan Siti antara iba dan suka, tapi perasaan suka dari Siti untuk Budi. Di luar perkiraan, Budi menyambutnya. Detik itu pula Wati merasa harus keluar dari permainan yang bahkan belum dimulai ini. Kalau memang seorang lelaki mampu dengan cepatnya beralih ke orang lain, maka sepertinya Nasib memang punya jalan lain untuk mereka bertiga.

Tibalah hari pertemua kedua mantan ini. Entah apa yang akan terjadi. Entah guntur dan badai yang akan bertalu, ataukah justru angin pegunungan nan sejuk yang akan memenuhi ruangan pertemuan mereka itu...